Posted by : Unknown
Minggu, 01 Maret 2015
Salah satu tulisan Bagindazz.blogspot.com hari ini berjudul cukup menggelitik,
“Orang Jepang Pun Ada Yang Tidak Bisa Membaca”! Ha?? Jepang?? Negara
Asia yang konon paling maju dalam hal teknologi dan SDM?? Masih ada yang
buta huruf?? Mungkin begitu pikiran kita ketika membaca judul tersebut.
Dalam tulisannya, sang penulis akan bercerita tentang orang Jepang yang tidak fasih membaca sebuah wacana dalam bahasanya sendiri. Usut punya usut, wacana yang dimaksud ditulis dalam huruf Kanji yang merupakan jenis huruf tersulit dalam khazanah bahasa Jepang. Bangsa Jepang memang mengenal empat jenis huruf yang jamak digunakan sehari-hari, yaitu Romaji (huruf Latin), Hiragana, Katakana, dan Kanji. Hiragana dan Katakana relatif simpel dan dimengerti oleh segenap bangsa Jepang, sedangkan Kanji hmm… terus terang sangat ruwet dan njlimet, bahkan tidak sedikit orang Jepang yang tidak lancar membaca Kanji.
Bagi mereka yang pernah mempelajari bahasa Jepang, baik baru sampai pada tahap icip-icip, maupun yang sudah telanjur “terjerumus”, tentu paham betul bagaimana puyeng-nya mempelajari huruf yang satu ini. Saking ruwetnya, tidak sedikit orang yang patah arang kemudian berhenti mempelajari bahasa Jepang karena stres dihadang momok yang satu ini.
Memangnya apa sih susahnya belajar huruf Kanji?
Nama Kanji sendiri sebenarnya berarti “huruf Kan”, di mana “Kan” merupakan sebutan orang Jepang bagi dinasti Han di Cina. Huruf ini memang diimpor oleh bangsa Jepang dari Cina sekitar abad ke-5 Masehi sebagai media dalam percakapan tulisan, di mana saat itu bangsa Jepang belum mengenal budaya tulis-menulis, hanya budaya lisan/oral saja.
Ternyata proses mengimpor huruf ini tidak semudah Bulog mengimpor beras, terutama karena huruf Cina impor tersebut sejatinya merupakan visualisasi benda, baik yang berwujud (piktogram) maupun abstrak (ideogram) seperti huruf hieroglif di Mesir atau Aztek kuno, berbeda dengan alfabet Latin atau Arab yang berdasarkan bunyi. Perhatikan ilustrasi berikut ini:

Dengan kata lain, jika bangsa Jepang ingin mengimpor huruf Cina 100%, berarti bahasa lisannya pun harus ikut-ikutan dirombak seluruhnya, karena kata yang digunakan bangsa Jepang untuk menyebut “gunung”, misalnya, tentu berbeda dengan kata “gunung” dalam bahasa Cina. Belum lagi masalah tata bahasa dan lain-lain yang tentu saja juga tidak sama sebangun (bahasa Jepang menggunakan struktur Subyek-Obyek-Predikat/SOP, sedangkan bahasa Cina menggunakan struktur SPO).
Cara satu-satunya adalah mengimpor ide di balik setiap huruf, atau asal-usul hurufnya saja. Sedangkan cara pengucapannya disesuaikan dengan bahasa Jepang lisan yang sudah ada, misalnya huruf “bulan” (lihat gambar) tidak dibaca sebagai yuè seperti dalam bahasa Cina, tetapi tsuki yang merupakan kata Jepang untuk menyebut bulan. Namun demikian, cara pengucapan a la Cina pun masih dipertahankan untuk mendeskripsikan konsep-konsep yang langsung diimpor dari Cina. Saat ini, hampir seluruh huruf Kanji memiliki paling tidak dua jenis pengucapan, yaitu cara Jepang dan cara Cina. Bahkan tidak sedikit yang memiliki lima atau lebih cara baca, tergantung disandingkan dengan siapa. Mari kita lihat beberapa contoh berikut ini:
Dalam bahasa Jepang, negara Jepang disebut dengan nama Nihon atau Nippon yang dituliskan sebagai berikut:
Kata ini merupakan paduan dari dua huruf Kanji yang masing-masing berarti “(mata)hari” dan “sumber/asal” (juga bisa berarti “buku” atau “batang”). Huruf pertama bisa dibaca sebagai hi, nichi, ka atau jitsu, sedangkan huruf kedua bisa dibaca sebagai moto atau hon. Namun kombinasi kedua huruf ini harus diucapkan sebagai Nihon atau Nippon, bukan himoto, kamoto, atau hihon.
Nah, bagaimana jika susunannya dibalik seperti di bawah ini?

Percaya atau tidak, cara bacanya tidak bisa dibalik begitu saja menjadi Hon-ni atau Pon-ni, melainkan akan berubah drastis menjadi honjitsu yang artinya “hari ini”. Nah lho!
Contoh lainnya seperti ini:
Sifat bangsa Jepang yang super nyeleneh seringkali juga menjadikan Furigana sebagai ladang berkreativitas yang menjadikan Kanji lebih njlimet lagi! Mari kita lihat contoh berikut ini:
Contoh di atas merupakan judul dari salah satu komik anak-anak Doraemon. Menurut kaidah, judul komik tersebut seharusnya dibaca Nobita to Ginga Chōtokkyū. Namun, jiwa nyeleneh sang pengarang membuatnya menambahkan Furigana berbunyi ekusupuresu pada kata chōtokkyū (tiga huruf yang berwarna merah). Alhasil, walaupun kata chōtokkyū dan ekusupuresu sama-sama berarti “ekspres”, judul buku ini pun otomatis berubah menjadi Nobita to Ginga Ekusupuresu, walaupun tulisannya tetap Nobita to Ginga Chōtokkyū. Ajaib, kan?
Masih ada lagi yang lebih ajaib, yaitu cara penulisan nama dalam bahasa Jepang. Tapi supaya tidak kepanjangan, saya sambung di tulisan berikutnya saja ya.
Minum Panadol dulu, gih!
Dalam tulisannya, sang penulis akan bercerita tentang orang Jepang yang tidak fasih membaca sebuah wacana dalam bahasanya sendiri. Usut punya usut, wacana yang dimaksud ditulis dalam huruf Kanji yang merupakan jenis huruf tersulit dalam khazanah bahasa Jepang. Bangsa Jepang memang mengenal empat jenis huruf yang jamak digunakan sehari-hari, yaitu Romaji (huruf Latin), Hiragana, Katakana, dan Kanji. Hiragana dan Katakana relatif simpel dan dimengerti oleh segenap bangsa Jepang, sedangkan Kanji hmm… terus terang sangat ruwet dan njlimet, bahkan tidak sedikit orang Jepang yang tidak lancar membaca Kanji.
Bagi mereka yang pernah mempelajari bahasa Jepang, baik baru sampai pada tahap icip-icip, maupun yang sudah telanjur “terjerumus”, tentu paham betul bagaimana puyeng-nya mempelajari huruf yang satu ini. Saking ruwetnya, tidak sedikit orang yang patah arang kemudian berhenti mempelajari bahasa Jepang karena stres dihadang momok yang satu ini.
Memangnya apa sih susahnya belajar huruf Kanji?
Nama Kanji sendiri sebenarnya berarti “huruf Kan”, di mana “Kan” merupakan sebutan orang Jepang bagi dinasti Han di Cina. Huruf ini memang diimpor oleh bangsa Jepang dari Cina sekitar abad ke-5 Masehi sebagai media dalam percakapan tulisan, di mana saat itu bangsa Jepang belum mengenal budaya tulis-menulis, hanya budaya lisan/oral saja.
Ternyata proses mengimpor huruf ini tidak semudah Bulog mengimpor beras, terutama karena huruf Cina impor tersebut sejatinya merupakan visualisasi benda, baik yang berwujud (piktogram) maupun abstrak (ideogram) seperti huruf hieroglif di Mesir atau Aztek kuno, berbeda dengan alfabet Latin atau Arab yang berdasarkan bunyi. Perhatikan ilustrasi berikut ini:
Dengan kata lain, jika bangsa Jepang ingin mengimpor huruf Cina 100%, berarti bahasa lisannya pun harus ikut-ikutan dirombak seluruhnya, karena kata yang digunakan bangsa Jepang untuk menyebut “gunung”, misalnya, tentu berbeda dengan kata “gunung” dalam bahasa Cina. Belum lagi masalah tata bahasa dan lain-lain yang tentu saja juga tidak sama sebangun (bahasa Jepang menggunakan struktur Subyek-Obyek-Predikat/SOP, sedangkan bahasa Cina menggunakan struktur SPO).
Cara satu-satunya adalah mengimpor ide di balik setiap huruf, atau asal-usul hurufnya saja. Sedangkan cara pengucapannya disesuaikan dengan bahasa Jepang lisan yang sudah ada, misalnya huruf “bulan” (lihat gambar) tidak dibaca sebagai yuè seperti dalam bahasa Cina, tetapi tsuki yang merupakan kata Jepang untuk menyebut bulan. Namun demikian, cara pengucapan a la Cina pun masih dipertahankan untuk mendeskripsikan konsep-konsep yang langsung diimpor dari Cina. Saat ini, hampir seluruh huruf Kanji memiliki paling tidak dua jenis pengucapan, yaitu cara Jepang dan cara Cina. Bahkan tidak sedikit yang memiliki lima atau lebih cara baca, tergantung disandingkan dengan siapa. Mari kita lihat beberapa contoh berikut ini:
Dalam bahasa Jepang, negara Jepang disebut dengan nama Nihon atau Nippon yang dituliskan sebagai berikut:
Kata ini merupakan paduan dari dua huruf Kanji yang masing-masing berarti “(mata)hari” dan “sumber/asal” (juga bisa berarti “buku” atau “batang”). Huruf pertama bisa dibaca sebagai hi, nichi, ka atau jitsu, sedangkan huruf kedua bisa dibaca sebagai moto atau hon. Namun kombinasi kedua huruf ini harus diucapkan sebagai Nihon atau Nippon, bukan himoto, kamoto, atau hihon.
Nah, bagaimana jika susunannya dibalik seperti di bawah ini?
Percaya atau tidak, cara bacanya tidak bisa dibalik begitu saja menjadi Hon-ni atau Pon-ni, melainkan akan berubah drastis menjadi honjitsu yang artinya “hari ini”. Nah lho!
Contoh lainnya seperti ini:
Ketiga huruf di atas jika dibaca sendiri-sendiri diucapkan sebagai haya, kumo, dan yama berturut-turut. Namun jika disandingkan bersama-sama seperti di atas, maka akan dibaca sebagai sōunzan, bukan hayakumoyama! Nggak masuk akal, kan?
Inilah yang menjadi momok terbesar bagi mereka yang mempelajari huruf
Kanji Jepang. Dibandingkan dengan huruf Kanji Cina, jumlah huruf Kanji
yang ditetapkan pemerintah Jepang sebagai Kanji sehari-hari (jōyō kanji)
memang tidak terlampau banyak, “hanya” 1945 saja (bandingkan dengan
sekitar 4000 Kanji umum di Cina), namun aturan cara baca yang sangat
tidak logis dan konsisten menjadikannya sangat sulit untuk dikuasai,
bahkan bagi orang Jepang sendiri sekalipun. Rata-rata orang Jepang yang
mengenyam pendidikan hingga level SMA mengerti cara menulis sekitar 2000
huruf Kanji dan arti masing-masing huruf (termasuk 1945 Kanji
sehari-hari di atas), namun belum tentu mereka tahu bagaimana membaca
huruf-huruf tersebut dengan benar jika dipadankan satu sama lain. Itulah
sebabnya mengapa mereka yang tidak mengenyam pendidikan yang tinggi
(termasuk ibu-ibu rumah tangga dan para lanjut usia) masih mampu
mengerti isi berita suatu majalah atau koran, namun belum tentu mampu
membacanya sesuai kaidah.
Oleh sebab itu, diciptakanlah huruf bantu yang disebut Furigana (atau
Rubi). Furigana ini biasanya menyempil di bagian atas huruf Kanji
sebagai panduan cara membaca Kanji dengan benar, seperti di bawah ini
(ditandai dengan panah merah di atas tulisan Nihon):
Sudah barang tentu tidak semua Kanji ditulisi Furigana (capek dong!)
Hanya buku-buku pelajaran, buku anak-anak atau remaja, serta
kombinasi-kombinasi huruf Kanji yang tidak umum seperti termasuk nama
orang/tempat, akronim, dan sebagainyalah yang dibumbui dengan Furigana.
Intinya supaya sang pembaca tahu bagaimana mengucapkan atau membaca
kata-kata tersebut dengan baik dan benar.Sifat bangsa Jepang yang super nyeleneh seringkali juga menjadikan Furigana sebagai ladang berkreativitas yang menjadikan Kanji lebih njlimet lagi! Mari kita lihat contoh berikut ini:
Masih ada lagi yang lebih ajaib, yaitu cara penulisan nama dalam bahasa Jepang. Tapi supaya tidak kepanjangan, saya sambung di tulisan berikutnya saja ya.
Minum Panadol dulu, gih!
Ngpe pule nak dipelajari
BalasHapusHhahaha pusing gan!!
Hapus